Saat menjalankan kegiatan belajar dan menuntut ilmu, mungkin ada di antara kita yang pernah mengalami kesulitan dalam menghafal, mempelajari atau memahami suatu keilmuan. Atau apa-apa yang pernah kita hafal dan pelajari mudah sekali menguap, padahal saat menghafal dan memahaminya begitu sangat mudah. Atau sebaliknya, merasakan kesulitan saat mempelajarinya, namun saat berhasil, begitu mudah menguapnya, alias terlupa.
Setidaknya ada empat tipe kita dalam menerima sebuah ilmu. Yang pertama, mudah saat mempelajari, namun mudah pula lupanya. Yang kedua, mudah saat mempelajari, sulit lupanya, alias kuat ingatannya. Yang ketiga, sulit saat mempelajari, namun begitu mudah lupanya. Yang keempat, sulit saat mempelajari, sulit pula lupanya, alias kuat ingatannya.
Setiap kita pasti berharap mendapatkan kondisi yang terbaik. Yaitu kita bisa menghafal, mempelajari, dan memahami ilmu dengan mudah. Setelah itu, segala yang kita hafal, pelajari, dan pahami tersebut terekam dengan kuat dalam ingatan kita sehingga tidak mudah hilang dan terlupa.
Lantas, bagaimana jika kita dalam kondisi yang sebaliknya? Kondisi sulit saat mempelajari, namun ternyata sulit ingatnya dan mudah lupanya.
Masih teringat dalam benak kita, sebuah kisah yang sangat menggugah. Kisah ulama’ besar, yaitu Imam Syafi’i. Beliau pernah mengadu kepada gurunya, Imam Waki’ terkait hafalannya yang kian buruk. Padahal kita tahu bahwa Imam Syafi’i ini memiliki hafalan yang cemerlang. Bagaimana tidak, dia mampu menghafal Al Qur’an di usia 7 tahun. Telah menghafal matan kitab Al Muwaththo’ karya Imam Malik sebelum berguru dengan sang Imam pengarang kitab tersebut. Meski memiliki kecemerlangan dalam menghafal, Imam Syafi’i kecil merasa memiliki hafalan yang buruk.
Lalu, apa yang disampaikan oleh Imam Waki’ setelah mendapat curhatan dari Imam Syafi’i kecil saat itu? Imam waki’ pun memberikan nasehat kepada Syafi’i kecil supaya meninggalkan maksiat. Lantas Imam Syafi’i kecil pun teringat bahwa di suatu hari dia pernah berjalan di tempat ramai. Saat itu Imam Syafi’i kecil tidak sengaja melihat betis seorang perempuan yang tersingkap saat sedang menaiki kendaraan tunggangannya. Saat itu pula Imam Syafi’i kecil segera memalingkan pandangannya ke objek lainnya. Akhirnya Imam Syafi’i kecil menduga itulah kemaksiatan yang membuat hafalannya memburuk.
Dalam syairnya, Imam Syafi'i rahimahullah pernah berkata :
شَكَوْت إلَى وَكِيعٍ سُوءَ حِفْظِي # فَأَرْشَدَنِي إلَى تَرْكِ الْمَعَاصِي
وَأَخْبَرَنِي بِأَنَّ الْعِلْمَ نُورٌ # وَنُورُ اللَّهِ لَا يُهْدَى لِلْعَاصِي
"Aku pernah mengadukan kepada Waki' tentang jeleknya hafalanku. Lalu beliau menunjukiku untuk meninggalkan maksiat. Beliau memberitahukan padaku bahwa ilmu adalah cahaya dan cahaya Allah tidaklah mungkin diberikan pada ahli maksiat." (I'anatuth Tholibin, 2: 190).
Dari kisah Imam Syafi’i tersebut, dapat kita ambil kesimpulan bahwa dosa dan kemaksiatan memiliki dampak buruk yang luar biasa terhadap aktivitas kita dalam rangka belajar dan menuntut ilmu. Satu kemaksiatan yang tidak disengaja saja mampu membuat hafalan Imam Syafi’i kecil memburuk, bagaimana jika kemaksiatan itu dilakukan dengan sengaja dan terus menerus oleh kita, yang kualitas hafalannya tidak sebaik Imam Syafi’i?
Semoga Allah membimbing kita agar selalu di jalan Nya, memudahkan kita dalam belajar, menjauhkan kita dari kemaksiatan dan dosa, membantu kita dalam mengingati Nya, bersyukur kepada Nya, dan beribadah terbaik kepada Nya. Aamiin.
0 Responses So Far: